Preview
Akademisi di Sultra Serukan Penolakan Revisi UU Pilkada

Akademisi di Sultra Serukan Penolakan Revisi UU Pilkada

Akademisi di Sultra serukan penolakan revisi UU Pilkada. DPR dianggap mencederai hukum dan mengoyak demokrasi.

SAIFUL RIJAL YUNUS
· 4 menit baca
Memuat data...
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Supratman Andi Agtas bersama anggota Badan Legislasi (Baleg) usai rapat pengambilan putusan tingkat I RUU Pilkada di Baleg DPR, Jakarta, Rabu (21/8/2024).

KENDARI, KOMPAS — Sejumlah akademisi di Sulawesi Tenggara menyerukan penolakan atas revisi Rancangan Undang-Undang Pilkada oleh DPR. Sebab, hal tersebut dianggap mencederai hukum dan membahayakan demokrasi. Lebih jauh lagi, kondisi ini membuat rakyat semakin terpisah dari haknya.

”Pembahasan RUU Pilkada ini harus ditolak karena kita ingin negara demokrasi yang berlandaskan hukum tetap pada jalurnya. Apa yang dilakukan oleh DPR kali ini dengan merevisi UU Pilkada setelah putusan Mahkamah Konstitusi seakan ingin membunuh demokrasi,” kata akademisi dari Universitas Muhammadiyah Kendari, Hariman Satria, Kamis (22/8/2024).

Menurut Hariman, apa yang dilakukan oleh DPR ini mencerminkan kegenitan dalam berdemokrasi. Sebab, apa yang dibahas tidak pada tempatnya dan malah terjadi pembegalan terhadap aturan yang dikeluarkan oleh MK.

Putusan oleh MK, ia melanjutkan, telah melalui telaah dan pembahasan yang panjang. Salah satu pertimbangan utama putusan tersebut adalah menciptakan stabilitas politik di daerah, khususnya memberikan kesempatan kepada setiap orang yang potensial untuk maju dan berkontestasi di pilkada. Prinsipnya adalah kesempatan yang sama setiap orang.

Sebelumnya, aturan persyaratan calon kepala daerah bersifat terbatas. Partai politik memiliki kewenangan besar, khususnya pemegang kursi yang besar. Sementara, partai dengan raihan kursi kecil dipaksa untuk bergabung dan mengikuti ritme yang ada. Situasi ini juga membuat mahar ”tiket” pilkada kian tidak terkendali.

Memuat data...
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Petugas mempersiapkan peralatan yang akan digunakan ketua dan anggota Komisi Pemilihan Umum untuk konferensi pers terkait putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pilkada 2024 di Jakarta, Senin (19/8/2024).

Lahirnya aturan baru oleh MK dianggap membuat terobosan hukum dengan syarat yang dipermudah. Partai seakan tidak menjadi pemilik tunggal demokrasi dengan banyanya calon yang bisa diusung dalam pilkada. Kedaulatan rakyat terjamin.

”Secara normatif, MK telah memutuskan konteks pilkada yang bersifat final dan mengikat. Maka, DPR tidak lagi boleh mengutak-atik dan mengoreksi hal tersebut. Kalau DPR membuat lagi aturan baru, berarti terjadi pembangkangan terhadap hukum,” ujarnya.

Sebelumnya, MK mengeluarkan dua putusan fenomenal terkait syarat pencalonan kepala daerah. Di dalam putusan nomor 70/PUU-XXII/2024, MK menegaskan pemaknaan terhadap Pasal 7 Ayat (2) Huruf e UU No 10/2016 yang mengatur syarat usia minimal calon kepala daerah 30 tahun untuk gubernur-wakilnya serta 25 tahun untuk bupati-wakilnya dan wali kota-wakilnya.

Dalam putusan tersebut, MK menyatakan, titik penghitungan usia minimal dilakukan sejak penetapan pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum dan bukan saat pelantikan seperti diputus oleh Mahkamah Agung pada 29 Mei 2024.

Baca juga: DPR Melawan Putusan MK, Aturan Ambang Batas Pencalonan yang Inkonstitusional Dihidupkan Lagi

Putusan itu secara otomatis menutup peluang Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo, maju sebagai calon gubernur. Padahal, Partai Nasdem sudah mendeklarasikan dukungannya untuk Kaesang maju pada Pilkada Jawa Tengah.

Putusan kedua, terkait dengan ambang batas partai politik atau gabungan parpol mengajukan calon. MK menyatakan Pasal 40 Ayat (1) UU Pilkada inkonstitusional bersyarat jika tidak dimaknai syarat pengajuan calon oleh partai/gabungan partai disamakan dengan syarat calon dari jalur perseorangan. Syaratnya yaitu antara 6,5 persen dan 10 persen suara sah dalam pemilu sebelumnya yang besarannya bergantung pada jumlah daftar pemilih tetap di daerah tersebut.

Namun, DPR melalui Rapat Panja Revisi UU Pilkada Badan Legislasi melanjutkan pembahasan revisi UU Pilkada secara kilat. Dalam rapat panja Rabu ini, mereka menyepakati untuk menggunakan putusan MA sebagai dasar penghitungan usia calon kepala daerah dan mengubah Pasal 40 Ayat (1) UU Pilkada menjadi tak sesuai putusan MK (Kompas, 21/8/2024).

Memuat data...

Dihubungi terpisah pada Rabu (21/8/2024) malam, Muhaimin, pengajar hukum tata negara dari Universitas Dayanu Ikhsanuddin, Baubau, Sultra, menjelaskan, tidak ada alasan bagi DPR untuk tidak mengikuti putusan dari MK. Sebab, apa pun keputusan dari MK, sifatnya berlaku saat itu juga, mengikat siapa saja, dan tidak bisa diganggu gugat.

Sebab, pada prinsipnya, MK menjalankan fungsi kontrol dan keseimbangan terhadap produk hukum yang dikeluarkan DPR. Keputusan dari MK juga bersifat membatalkan dan boleh menambahkan. Itu merupakan hal yang biasa dan telah beberapa kali terjadi.

Baca juga: Perlawanan Massa Bisa Muncul jika Revisi UU Pilkada Tak Sesuai Putusan MK

Namun, yang terjadi saat ini, ketika putusan MK tidak menguntungkan kelompok tertentu, pihak DPR dengan segera mengambil langkah cepat. Revisi aturan terkait pilkada yang berjalan saat ini dianggap hanya menyiasati putusan MK sebelumnya.

”Fenomenanya adalah mengakali hukum yang seharusnya tidak dilakukan. Secara aturan, hal tersebut tidak boleh dilakukan dan harus ditolak,” ujarnya.

Kamis (22/8/2024) ini, DPR berencana menggelar rapat paripurna RUU Pilkada menjadi undang-undang. Rencana tersebut mendapat banyak penolakan dari masyarakat sipil, akademisi, dan mahasiswa dari sejumlah daerah di Indonesia.

NELI TRIANA